TRIP TO TORAJA

0 komentar
one ot the traditional ceremony

Kalau saja Uli tidak mengirimkan sebuah message di Facebook pada pertengahan November tahun lalu, trip ini tidak akan pernah terjadi. Bunyi message temanku ini, “Emon, aku ingin ke Bengkulu. Disana ada apa ya?” Karena aku belum pernah sama sekali menjejakkan kaki disana, aku tidak tahu Bengkulu itu ada apa. Inilah saatnya, aku racuni dia dengan keindahan alam Indonesia Timur yang telah bikin aku jatuh cinta. Indonesia Timur yang cantik dan senantiasa misterius. Lagian, aku juga sedang butuh liburan sejenak.
Beberapa kali terjadi perubahan tujuan. Dari awalnya Flores, menjadi Selayar. Berubah lagi menjadi Selayar-Toraja, dimodifikasi menjadi Toraja-Mamasa. Sampai akhirnya berubah menjadi Toraja saja, mengingat susahnya akses ke Mamasa (Sulawesi Barat). Selain itu, ada batasan waktu liburan dan cuti. Padahal, keindahan alam lembah Mamasa dan tongkonan yang lebih asli telah menggoda kami. Traveling memang selalu membuatku excited, tidak peduli kemanapun tujuannya. Dan Toraja, membuatku selalu membayangkan makam-makan di gunung, upacara pemakaman, adu kerbau, dan batu-batu megalitikhum.
*******
Tana Toraja, atau tanahnya orang Suku Toraja, dulu kita mengenalnya dengan Kabupaten Tana Toraja (Tator) dengan ibukota dan pusat pemerintahan di Makale. Tetapi, pusat turis ada di Rantepao yang terletak 18 km di sebelah utara Makale. Akan tetapi, pada 2008 yang lalu, telah keluar UU pembentukan Kabupaten Tana Toraja Utara yang beribukota di Rantepao. Sehingga sekarang ini di Toraja ada dua kabupaten: Tator yang beribukota di Makale dan Toraja Utara yang beribukota di Rantepao. Pjs. bupati dijabat oleh YS Dalipang, yang dulunya menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tator. Pilkada baru digelar pada 2010 ini.
Kalau kita notice acara di Toraja, sebenarnya kami bisa datang kesana lebih awal. Sampai tanggal 26 Desember, pemda Toraja Utara menggelar serangkaian festival yang terangkum dalam Lovely December. Sayangnya, ketika mendapatkan berita ini dari temanku di Makassar, Khairil, kami sudah pesan tiket pesawat. Jika tidak, kami bisa re-schedule ke Tator. Ya, akhirnya, Lovely December melayang dari pantauan mata.
Tana Toraja terletak 350 km di utara Makassar. Makassar-Toraja bisa ditempuh dengan dua cara. Yaitu dengan pesawat terbang dan perjalanan darat. Tapi, kami berdua memilih lewat jalan darat saja. Lebih murah, dan lebih mengasyikkan melakukan perjalanan darat. Sekalian melihat kondisi outer Java. Paling tidak, infrastruktur jalannya.
traditional houses in Ketekesu

Toraja bisa ditempuh 11 jam dari Makassar dengan bis. Tiket bis harus dipesan terlebih dahulu di agen bus yang ingin kita gunakan. Banyak sekali perusahaan bis yang melayani rute Makassar-Toraja. Misalnya saja, Litha, New Liman, Batutumonga, Bintang Prima, dan sebagainya. Bis berangkat pagi atau malam hari.
Kami naik Bintang Prima. Bis berangkat dari Makassar jam 9.30 WITA dan sampai di Rantepao jam 19.30 WITA. Bis satu kali berhenti untuk makan siang di Barru. Lamanya perjalanan yang dibutuhkan ke Toraja merupakan kontribusi rusaknya jalan raya yang menghubungkan kedua daerah di Sulawesi Selatan ini.
Pemandangan tepian laut dan pantai mendominasi perjalanan ketika bis menyusuri Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Jalan raya dibangun sepanjang garis pantai. Dari dalam bus, kami bisa melihat kapal-kapal nelayan Bugis diparkir sepanjang pantai. Baru ketika memasuki Kabupaten Enrekang, kita disuguhi pemandangan yang lainnya. Yaitu pegunungan karst (kapur) yang berkelok dan indah. Yang paling menakjubkan adalah keindahan (Gunung) Buntu Kabobong yang berarti gunung erotis. Karena, pinggir gunung yang berlipat-lipat ini sering diasosiasikan dengan bentuk kelamin perempuan. Sehingga, gunung ini juga dikenal dengan nama Gunung Nona. Menurut ahli geologis, gunung ini terbentuk karena tumbukan lempeng benua. Gunung ini tidak ditumbuhi pohon yang tinggi. Hanya pohon-pohon pendek, mirip semak belukar. Tetapi, dari kejauhan mirip seperti lumut.
Dari Oom Wiki, disebutkan kalau orang Toraja berasal dari Nirwana (surga). Mereka percaya, nenek moyang mereka turun dari nirwana dengan mengguanakan tangga dari langit. Nama Toraja diberikan oleh orang Bugis Sidendreng dan Bugis Luwu. Orang Bugis Sidendreng menyebutnya dengan To Riaja yang berarti orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Orang Luwu menyebutnya dengan To Riajang yang berarti orang yang berdiam di sebelah barat.
Memasuki Toraja, mulai nampak rumah-rumah tongkonan dan gereja-gereja Toraja yang sangat khas. Keindahan Toraja tidak bisa dilihat dari melihat Rantepao saja. Karena, Rantepao hanya pusat pemerintahan Kabupaten Toraja Utara dan pusat bisnis. Kalau malam, jalanan utama di Rantepao akan berubah menjadi lahan-lahan parkir bis malam. Baik bis yang datang dari Makassar ataupun bis yang akan berangkat ke Makassar. Bis menuju Makassar umumnya akan mulai diberangkatkan dari Rantepao sekitar jam 19.00 WITA. Dua poros jalan utama di Rantepao, Ahmad Yani dan Andi Mappanyuki akan menjadi sangat macet. Selain jalannya sempit dan banyak bis yang diparkir, berbagai macam jenis kendaraan dan pejalan kaki juga berlomba untuk lewat.
rice field

Keindahan Toraja justru ada di pemandangan alam di pedesaannya, terutama di Toraja bagian Utara. Seperti misalnya rumah adat (tongkonan) dan alang (lumbung padi), pemandangan sawah-sawah dan juga batu-batu megalitikumnya. Terutama yang ada di daerah Bori, Deri dan Lempo. Memang, saat ini sudah agak jarang tongkonan yang menggunakan atap kayu atau rumbia, tetapi lebih banyak yang menggunakan atap seng. Hanya di beberapa tempat yang tetap mempertahankan rumbia sebagai atap.
Daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata, telah bisa ditempuh dengan angkutan umum. Kendaraan yang digunakan kalau tidak Kijang ya Suzuki Carry. Ini sangat memudahkan untuk wisatawan yang datang tidak dengan rombongan tour atau tidak menyewa motor.Yang sangat disayangkan dari transportasi di Tana Toraja adalah kondisi jalan raya. Banyak ruas jalan terutama di daerah utara yang jalannya rusak berat. Banyak juga ruas yang belum diaspal. Hanya berupa jalan makadam. Batu-batu kapur meringis putih sepanjang jalan. Bisa dibayangkan licinnya kalau musim hujan.
Tetapi, di banyak tempat juga telah dibangun jalan poros desa (jalan yang menghubungkan antar desa). Biasanya berupa jalan cor. Amat disayangkan sebenarnya kalau rusaknya jalan raya menjadi penghalang wisatawan mengunjungi tempat-tempat yang menakjubkan. Misalnya, batu-batu megalithum yang banyak bertebaran di sawah-sawah di daerah Bori, Deri dan Lempo. Di daerah ini, jalan yang aspalnya sangat bagus dan mulus adalah Japan-Indonesia Friendship Road sepanjang beberapa kilometer. Setelah itu, kembali memasuki jalanan yang rusak lagi.
Kondisi jalananan yang kurang bagus ini, mungkin saja tidak terjadi di Toraja, tetapi juga di wilayah Indonesia lainnya, terutama di daerah-daerah luar Jawa. Jelas, kondisi ini akan berpengaruh terhadap kemajuan daerah itu. Paling tidak, akses ke tempat itu menjadi lama dan sulit. Dan, transportasi menjadi sangat high cost.
Selama tiga hari di Toraja, kami tidak betemu banyak turis. Baik turis bule ataupun turis domestik. Sangat gampang sekali mengenali turis domestik. Mereka biasanya bepergian dengan bis-bis pariwisata. Selama tiga hari disana, kami tidak menjumpai satupun bis pariwisata. Apakah yang terjadi sebenarnya? Apa karena ini musim hujan? Ataukah daya pesona Tana Toraja sudah digeser oleh tempat lainnya? Ataukah karena infrastruktur jalan? Agak aneh juga melihat daerah tujuan wisata yang sepi di saat libur Tahun Baru yang juga berdekatan dengan moment Natal. Padahal, Tahun Baru adalah saat bagi semua orang Toraja mudik dan pulang kampung. Seperti moment Idul Fitri saja. Pertanyaan-pertanyaan ini terus berdengung sepanjang waktu disana, dan ketika aku menuliskan artikel ini.
Uli sering bilang, “Apakah mungkin mereka sudah kesini sebelum kita ya?” Tetapi, di banyak tempat yang kami kunjungi, jarang kami bertemu dengan turis. Kalaupun ada, paling beberapa orang dengan membawa mobil Plat Makassar dan orang Toraja. Itupun tidak terlalu ramai.
Beberapa tempat tujuan wisata yang kami kunjungi seperti sudah tidak dikunjungi wisatawan lagi. Misalnya saja di tondo (makam) Marante di bagian timur Rantepao. Di tempat ini, tangga batu menuju makam telah ditumbuhi semak dan berlumut. Tanda tidak pernah diinjak oleh banyak pengunjung. Di bawah tangga batu itu, ada dua buah toilet yang terlantar dan tidak dipakai.
Kondisi yang sama kami jumpai di Nenggala. Di Lonely Planet (terbitan 2003), disebutkan kalau di Nenggala ini, ada 14 buah tongkonan. Istimewanya tongkonan ini dibandingkan dengan tempat lainnya terletak pada ukiran kayunya. Disana, ukiran di tongkonan ada yang bermotif tentara dan perempuan Barat. Ketika kami sampai disana, yang ada hanya 12 tongkonan. Yang lainnya sedang direnovasi. Tempat ini juga telah ditutup. Tidak seorangpun berkunjung kesana. Kami hanya menjumpai seorang gadis seusia kami, anggota keluarga itu. Ketika kami mencari dari satu tongkonan ke tongkonan lainnya, kami tidak menemukan motif yang disebutkan itu. Hanya motif jago yang kami dapatkan. Padahal, secara geografis tempat ini sangat indah. Terletak di atas sebuah dataran tinggi, dari sini bisa melihat hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Aku jamin, tempat ini sangat indah.
Hal yang sama ketika kami menginap di Batutumonga. Tempat di lereng Gunung Sesean ini adalah tempat yang sangat indah dan sedikit mistis. Gunungnya selalu berkabut. Dari sini, kita bisa memandang Rantepao (pusat bisnis Toraja). Kalau malam, dan tidak sedang berkabut, akan tampak lampu-lampu menyala di Rantepao. Tempat ini menjadi kecil dari Batutumonga. Seperti melihat Kota Malang dari Batu. Sayangnya, geliat wisata sangat sepi paska krisis ekonomi tahun 1996. Dulu, tempat ini sangat ramai. Banyak wisma dan rumah makan di sepanjang jalan ini. Sekarang, sepi sekali. Ketika kami disana, wilayah ini seperti tidak ada geliat kehidupan. Tidak tampak wilayah ini pernah ramai. Tidak ada lampu di jalan. Agak usah juga mencari tempat makan. Disana, hanya ada beberapa penginapan saja sekarang ini. Sebut saja Penginapan Mama Rina dan Menterotiku. Sebelumnya, ada juga penginapan Mama Siska. Tetapi, tempat itu baru saja terbakar, dan sedang direnovasi.
Hanya Menterotiku yang penuh di malam tahun baru itu. Di penginapan Mama Rina tidak seorangpun menginap. Padahal, penginapan itu menawarkan sesuatu yang khas. Rumah panggung dari kayu, dilengkapi dengan view Rantepao di bawah sana. Sayangnya, lampu di kamar itu remang-remang, dan lampu toiletnya mati. Kelihatan sangat spooky. Apalagi pintunya tidak bisa ditutup.
Kondisi ini dibenarkan oleh Bang Jon (pemilik mobil yang kami tumpangi ke Rantepao dari Batutumonga), kalau sekarang ini kondisi wisata di Toraja sedang lesu. Bang Jon yang berprofesi sebagai pemilik situs wisata sekaligus seorang guide di Makassar, menyatakan minimnya pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor wisata. Termasuk yang didapatkan oleh masyarakat. Ini bisa dipahami. Kalau wisatawan sepi, ini akan berpengaruh terhadap penjulan souvenir.
hand-waving craft

Berita baiknya, masih banyak tempat yang ramai wisatawan. Seperti misalnya ke Kete’ Kesu dan Londa di sebelah selatan Rantepao. Fasilitas disana juga lumayan. Di Londa, telah disediakan guide yang juga berfungsi sebagai pembawa lentera untuk masuk ke dalam gua bawah tanah. Di gua stalagtit dan stalagmit ini, diletakkan mayat-mayat dari rumpun keluarga ini. Gua memang gelap. Dan, ada beberapa bagian yang sangat rendah. Para guide ini telah diorganisir oleh rumpun keluarga pemilik makam ini. Disini pula, kami melihat beberapa pengrajin sedang mengerjakan patung-patung (tau-tau) untuk upacara pemakaman pada bulan Februari.
tau-tau in Lemo

Jujur saja, terlepas dari kekurangan infrastruktur jalannya, bagiku, Toraja masih tetap saja menyimpan keindahan alam dan pesona budayanya. Bercampur dengan nuansa mistis. Dan, masih tetap layak untuk dikunjungi. Tidak ada tempat lain di Indonesia ini seperti Toraja. Aku tetap berharap, si cantik tidak lagi kusam. Tetapi, mendapatkan kembali kecerahan dan keceriaannya.
*******
Ketika kembali ke Makassar, kami tidak bisa mendapatkan bis besar. Hanya tersisa bis mini, itupun pas untuk dua orang. Duduk di tempat paling belakang, dan paling ujung (kiri dan kanan). Padahal, begitu tiba di Rantepao, kami langsung mencari tiket bis pulang karena kami tidak jadi ke Polewali-Mamasa. Ternyata, semua bis di Toraja telah penuh sampai dengan 5 Januari. Bis mini ini berisi 27 orang, dan tanpa toilet. Wow…. Sebagai orang dengan keluhan beser, hal ini cukup merisaukan aku.
Selama 11 jam menuju Makassar, kami harus rela naik bis kecil dengan sopir yang sangat kosro (baca:ugal-ugalan). Tidak peduli jalan naik, atau bergelombang, tetap saja dia dengan kecepatan maksimal. Hasilnya, banyak penumpang mabuk berat dan muntah. Uli syal-nya dimuntahin orang di sebelahnya. Dan aku, celanaku robek kecanthol kursi yang rusak. Tepat di paha! Bagus…. Belum lagi jidat yang benjol karena kejeduk jendela bis sebagai hasil duduk di ujung paling kiri.
Meskipun begitu, perjalanan ke Toraja ini, merupakan salah satu perjalanan terbaik yang pernah aku alami. Memang, liburan harus selalu menyenangkan dan seru!

Jadilah blogger yang cerdas, ingat sumber artikel anda.. Diberdayakan oleh Blogger.