Gunung Pangrango di Jawa Barat Merupakan Gunung Favorit Soe Hok Gie

0 komentar

Gunung Gede dari puncak Pangrango.jpg

Gunung Pangrango di Jawa Barat bisa dibilang sebagai gunung favorit Soe Hok Gie. Sebab, di sanalah dirinya membuat banyak puisi. Mendaki gunung ini sambil melewati Lembah Mandalawangi, seolah menelusuri napak tilas Gie.

Bicara tentang keindahan, Gunung Gede (2.958 mdpl) lebih menarik ketimbang Gunung Pangrango (3.019 mdpl). Dari Gunung Gede ada banyak spot yang dilihat. Pemandangan Kota Bogor di ketinggian, kawah bekas letusan serta dataran seluas 50 hektar yang dipenuhi bunga abadi edelweiss di alun-alun Surya Kencana.

Namun, pesona Soe Hok Gie membuat Pangrango menjadi gunung yang paling rajin didaki. Puisi-puisi Gie tentang Mandalawangi menciptakan romantisme buat para perempuan dan semacam panutan bagi pendaki pria yang mereka ingin menjadi seperti Gie.

Pangrango menjadi legenda hidup, tempat favoritnya 'sang demonstran', seseorang yang memilih untuk tersingkirkan ketimbang takluk pada kemunafikan. Mendaki Pangrango menjadi semacam napak tilas bagi penggemar Gie untuk melakoni apa yang dilakukan idolanya dulu.

Setidaknya itulah yang saya amati ketika mendaki Pangrango pertengahan April lalu. Wajah-wajah berhias semangat mengisi warung-warung yang ada di seputaran Cibodas. Berjaket tebal dengan carrier tergantung di pundak plus matras yang digulung tersampir di pinggir carrier.

Gaya para pendaki ini luar biasa ciamik. Tidak kalah dengan para pendaki profesional yang sering kita lihat di televisi. Euforia film '5 Cm' telah menaikkan level gunung menjadi beberapa tingkat lebih keren dibanding sebelumnya.

Saya sendiri, bergabung dengan para pendaki ini bukan karena ingin menjadikan puncak sebagai display picture untuk smartphone atau menghiasi laman jejaring sosial. Lebih kepada magnet Gie yang sangat memuja Mandalawangi dan Pangrango. Sehingga timbul rasa penasaran, seberapa luar biasa Mandalawangi dan Pangrango?

Apa benar kabut tipis itu turun pelan-pelan di Mandalawangi? Seberapa suram hutan di Mandalawangi sehingga puisinya Gie begitu muram? Sebegitu cantiknyakah, matahari yang mucul di Pangrango?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengikuti saya di sepanjang pendakian. Membuat saya ingin segera menjejakkan kaki di sana dan membuktikan apa-apa yang dituliskan Gie pada puisinya. Namun, perjalanan ke menuju Pangrango bukanlah perjalanan yang gampang.

Butuh sekitar tujuh jam untuk mencapai Pos Kandang Badak, pos tempat para pendaki biasa berkemah sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak. Dan dalam kurun waktu tujuh jam itu, jalan yang dilewati berundak-undak, mendaki, halangan batang pohon tumbang, sungai panas dari sumber Kawah Gunung Gede dan lain-lain.

Dari Pos Kandang Badak menuju puncak Pangrango lebih sadis lagi. Jalannya menanjak, dengan halangan batang-batang pohon tumbang dan tanah yang lembek. Butuh waktu lebih kurang empat jam untuk sampai ke atas

Sebenarnya kalau dibanding-bandingkan, jalur Cibodas jauh lebih gampang ketimbang jalur yang lain. Ibarat pepatah mengatakan, 'banyak jalan menuju Roma' sama halnya juga, 'banyak jalan menuju Pangrango'.

Masih ada sekira 15-20 jalur lain menuju Pangrango. Namun ada tiga yang umum, biasa dilewati yaitu Cibodas, Gunung Putri (arah Cianjur) dan Selabintana (Sukabumi). Ada juga jalur Geger Bentang yang sering digunakan untuk latihan tim SAR.

Jalur Cibodas adalah yang cukup ramah, apalagi buat pendaki pemula. Anda bisa berhenti beberapa kali, menenggak air mineral, mengulum cokelat, mencecap gula Jawa dilakukan untuk untuk menambah tenaga.

Selain lelah, ada kekhawatiran kalau saya dan teman-teman tidak sampai sesuai dengan waktu yang ditentukan. Sebabnya kami sudah menghitung-hitung waktu, mesti tiba pukul sekian supaya sempat melihat sunrise. benar saja, kami terlambat dan tak bisa menyaksikan sunrise. Meski begitu, penyesalan tersebut memudar karena konsentrasi terfokus untuk melewati jalan terjal.

Saya dan teman-teman secara tidak sadar mulai menikmati perjalanan ini. Menikmati rasa lelah, kaki yang sakit, betis yang kram, keringat yang lengket, tanah yang mengotori kaos dan celana. Membuat saya berpikir, rasa lelah membuat kita sempat menikmati alam sebenar-sebenarnya. Jika hanya sunrise dan puncak saja yang menjadi tujuan kita mendaki gunung, betapa banyaknya hal-hal kecil yang kita lewatkan.

Tak terasa, saya dan teman-teman sampai di 3.019 mdpl. Sebenarnya di pertengahan 3.019 mdpl, aroma puncak sudah mulai terasa. Pohon-pohon, mulai kelihatan ujungnya dan tidak lagi menjadi atap hutan, langit menggantikan tempatnya.

Gunung Gede mulai terlihat, bentuknya yang melebar mirip perempuan bertubuh bongsor. Sangat berbeda dengan Pangrango yang ramping dan proporsional. Puncak Pangrango tidak begitu luas, mungkin hanya muat 3-4 tenda. Dari atas yang terlihat hanyalah Gunung Gede dan arakan awan putih dengan latar langit biru.

Untuk sampai ke lembah cintanya Gie, kita harus turun lagi sekira 2 jam. Hamparan pucuk-pucuk edelweiss yang hampir mekar memenuhi padang yang tak begitu luas itu. Segaris sungai membelah antara padang yang satu dengan padang yang lain.

Sebelumnya, saya sempat mereka-reka, bagaimana reaksi saya ketika sampai di atas. Ternyata, euforia Pangrango dan Mandalawangi hanya membara di bawah kaki gunung saja.

Sesuatu yang begitu kita inginkan menjadi hal yang tidak lagi istimewa ketika kita berhasil mendapatkannya. Mungkin benar yang dikatakan filsuf Slavoj Zizek: We don’t really want what we think we desire.

Seorang teman yang sudah mendaki hampir seluruh gunung di Jawa mengatakan itulah yang disebut dengan obsesi. Terkadang obsesi begitu membutakan sampai-sampai kita hanya terpaku pada tujuan dan mengabaikan proses.

Kita bukan pemburu sunrise, penakluk gunung atau ingin menjadi sama seperti Gie. Kita cuma penikmat alam yang mendaki gunung… Yah..., cuma untuk menikmati alam..

Foto.


Kuncup edelweiss.jpg  Lembah Mandalawangi.jpg  Puncak Pangrango.jpg

Sumber. detik.com


Jadilah blogger yang cerdas, ingat sumber artikel anda.. Diberdayakan oleh Blogger.